top of page

Yang Datang dan Tenggelam: Dodong Djiwapraja

Robby Bouceu G.

(Ilustrasi oleh Kelana Wisnu)


... Puisi adalah manisan

yang terbuat dari butir-butir kepahitan

Puisi adalah gedung yang megah

yang terbuat dari butir hati yang gelisah.


1968



Bung dan Nona, sepotong bait puisi di atas asyik ‘kan? Empat baris potongan puisi ini menampakkan khas dengan ekuivalensi bunyinya, ya? Kalau menurut Roman Jakobson, ekuivalensi itu adalah prinsip dasar dari struktur puisi. Tapi, puisi di atas sengaja hanya dilampirkan sepotong saja. Sebab bukanlah puisi tersebut yang bakal digosipkan di sini, tetapi si penulisnya, yaitu Dodong Djiwapraja (1928-2009).


Dodong Djiwapraja lahir pada 25 September 1928 di desa Banyuresmi, Garut. Menempuh pendidikan SD hingga SMA di Bandung dan sempat mengikuti pendidikan di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, tetapi tidak tamat. Ia kemudian mencoba melanjutkan pendidikannya lagi di Akademi Militer, kali ini hingga lulus di tahun 1960, lalu Perguruan Tinggi Hukum Militer hingga mendapat gelar Sarjana Hukum di Tahun 1963.


Penyair yang berasal dari keluarga petani ini mulai menulis puisi sejak tahun 1940-an sampai tahun 1990-an. Puisi-puisinya tersebar dalam pelbagai majalah di Indonesia, antara lain dalam Gelombang Zaman, Mimbar Indonesia, Gema Suasana, “Gelanggang” Siasat, Sastra, Zaman Baru dan Budaja Djaja. Beberapa puisi Dodong Djiwapraja pun dimuat dalam Gema Tanah Air (1948) susunan H.B Jassin, Laut Biru Langit Biru (1977) suntingan Ajip Rosidi, juga Tonggak (1987) yang disunting oleh Linus Suryadi A.G. Adapun buku antologi puisinya yang bertajuk Kastalia, itu merupakan sepilihan puisi-puisinya yang tersebar di pelbagai majalah sebagaimana di atas dalam kurun waktu 1948-1972, yang dihimpun dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1997.


Selain menulis puisi, Dodong Djiwapraja dikenal pula sebagai penerjemah. Beberapa hasil terjemahan Dodong di antaranya adalah Rumah Tangga yang Bahagia (1976) karangan Leo Tolstoy; Islam, Filsafat, dan Ilmu (1984) dari ceramah yang diadakan oleh Unesco dengan tajuk Islam, Phylosophy and Science, serta beberapa puisi dari penyair Inggris dan Prancis seperti Saint-John Perse, W.H. Auden dan Charles Madge. Tahun 1949, Dodong bekerja di penerbit Pustaka Rakyat asuhan Sutan Takdir Alisjahbana, kemudian sebagai redaktur di majalah Angkasa pada tahun 1950. Pada 1976 ia menjadi perwira hukum di Lanuma Husein Sastranegara hingga pensiun.


Di bidang pengajaran, Dodong Djiwapraja pernah menjadi guru di SMA IPI Jakarta pada tahun 1953-1958, sebagai dosen luar biasa dalam mata kuliah Estetika di Universitas Indonesia pada tahun 1962-1964. Sebagai dosen luar biasa, ia juga pernah mengajar dalam mata kuliah Pengantar Kajian Kesusastraan, Kritik Sastra Indonesia Modern, dan Kesusatraan Sunda di Universitas Padjadjaran pada 1979-1985.


Sebagai pengajar di UNPAD, ia sering melakukan penelitian di bidang sastra Indonesia modern dan sastra Sunda bersama J.S. Badudu, Livain Lubis, Syofyan Zakaria, Saini K.M, Kusman K. Mahmud, dan Ajip Rosidi. Beberapa hasil penulisan tersebut antara lain adalah Memahami Sajak-Sajak Saini K.M. (1977), Memahami Sajak-Sajak Ajip Rosidi (1978), Perkembangan Puisi Indonesia tahun 20-an hingga Tahun 40-an (1979), Penelitian Apresiasi Cerita Rekaan Sastra Indonesia Murid Kelas III SPG Jawa Barat (1980), Sastra dan Gagasan Estetik dalam Sastra Indonesia Pujangga Baru (1982), Sastra Tradisional pada Masyarakat Cikeruh Kabupaten Sumedang (1983).


Di sisi lain, Dodong juga aktif dalam keorganisasian di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, ia pernah menjadi anggota delegasi pengarang Indonesia bersama Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani, serta Sitor Situmorang sebagai ketuanya, untuk mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Uni Soviet (1958), Tokyo, Jepang (1960), RRT (1961) dan di Bali (1962).


Sebagai penyair, Dodong Djiwapraja pernah mendapat Hadiah Sastra Harian Rakyat pada tahun 1960 untuk puisinya yang berjudul Tantangan (Zaman Baru, No. 3-4, 1961). Tahun 2001, berkat buku antologi puisinya yang bertajuk Kastelia (1997), Dodong Djiwapraja dianugerahi Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Lalu pada 2009, penyair yang disebut “penyair waspada” oleh W.S Rendra ini wafat di usia 81 tahun.

12 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comentários


"Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet. Keduanya dapat tempat."— Chairil Anwar

Lebih dekat dengan Jalang:

  • email
  • Instagram

Copyright © 2022 Jalang. All rights reserved

bottom of page