![](https://static.wixstatic.com/media/7961f1_d1134424ebe34ec3a6a5d079d5fb480a~mv2.png/v1/fill/w_320,h_320,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/7961f1_d1134424ebe34ec3a6a5d079d5fb480a~mv2.png)
(Ilustrasi oleh Kelana Wisnu)
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. Dia bisa dikatakan berasal dari golongan keluarga intelek Jawa karena ayahnya, seorang anak guru agama,yang mengajar di sekolah swasta nasionalis Boedi Oetomo di Blora. Sementara itu, ibunya merupakan anak seorang petinggi keagamaan dari Rembang.
Meskipun lahir dari golongan intelek, masa muda Pram tidaklah mudah. Sebelum dikenal sebagai seorang penulis berpengaruh di Indonesia dari akhir abad 20, siapa sangka Pram pernah bercokol dengan seperangkat komponen radio dan botol kecap. Tidak sampai di situ, Pram juga mengakui bahwa dirinya memiliki kendala dalam hal menyerap pelajaran-pelajaran di sekolah (peran ayahnya sebagai seorang pengajar mengambil andil cukup besar dalam hal ini kemudian hari).
“Dia harus mengulang dua kali selama tiga tahun pertama pendidikan dasarnya. Selama periode ini ayahnya mendedikasikan waktu di sore hari setelah sekolah, khusus untuk membinanya. Sang ayah mengajarinya tentang alam, nasionalisme, cerita-cerita rakyat, tentang penindasan, penderitaan manusia dan keserakahan Belanda” (Scherer, 2012:11).
Ayah Pram merupakan seorang nasionalis. Ini dibuktikan dengan keputusan ekstrem yang diambilnya yaitu, dengan meninggalkan pekerjaan sebagai guru pemerintah (Belanda) di HIS dan menjadi guru di Boedi Oetomo (sekolah swasta milik pribumi). Pada saat itu gaji di HIS sebelas kali lipat lebih besar dari gaji guru di Boedi Oetomo yaitu sekitar 200 gulden. Haluan ayahnya ini barangkali salah satu alasan yang membentuk Pram menjadi seperti yang kita kenal sekarang. Konon masa kecil Pramoedya di Blora terekam dalam kumpulan cerita pendek Tjerita dari Blora yang terbit pada tahun 1952.
Kehidupan masa muda Pramoedya mengalami degradasi ketika terjadi perselisihan di tubuh keluarga. Savitri Scherer dalam bukunya menyebutkan bahwa kekacauan keluarga Pram digambarkan lewat perang dingin antara Nyai Ontosoroh dengan Tuan Mellema dalam Bumi Manusia. Selanjutnya, konflik ini menyebabkan kesulitan ekonomi yang menyebabkan Pram mau tidak mau harus menopang perekonomian menggantikan ayahnya yang kerap bermain judi.
Pada usia sebelas tahun, Pram hijrah ke Surabaya untuk belajar mekanika radio. Selama di surabaya rasa tanggung jawabnya untuk terus menghidupi adik dan ibunya direalisasikan dengan berkeliling menjajakan kecap botol dan kemeja. Sikap ini masih dia pertahankan sekembalinya dari Surabaya. “Ia menjajakan tembakau dan harus bersepeda menuju Cepu tiap hari, melewati hutan yang saat itu penuh dengan kerusuhan akibat pertarungan untuk menguasai pipa-pipa minyak” (Scherer, 2012:12).
Kurang dari satu tahun Pram menetap kembali di Blora, dia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Jakarta. Keputusan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kematian ibunya pada Mei 1942. Di Jakarta, Pram masuk sekolah Taman Siswa dengan jenjang Taman Dewasa. Pada masa-masa ini, tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga masih dipikulnya dengan cara mengirim satu per tiga gaji sebagai juru ketik kantor berita milik Jepang, Domei, pada adik perempuannya di Blora.
Periode hidup Pramoedya mengalami progres yang signifikan sejak Taman Dewasa ditutup. Sejak saat itu, keterlibatan Pram dengan Badan Keamanan Rakyat di kemudian hari berhasil menyumbangkan ide-ide kreatif bagi karya-karyanya seperti Pertjikan Revolusi, karya yang dinobatkan A. Teeuw sebagai karya terbaik Pramoedya. Perjalanan hidup Pram pada periode ini pula yang menuntunnya melangkah semakin dekat untuk mengukuhkan namanya sebagai tokoh sastra Indonesia seperti yang kita kenal saat ini...
Comments