
Kita sudah tidak asing lagi dengan film KKN di Desa Penari, film yang merupakan hasil ekranisasi dari sebuah utas di Twitter yang diunggah oleh akun SimpleMan. Kepopuleran cerita horor tersebut menjadikannya sebuah film yang konon, katanya menjadi film ‘terlaris sepanjang masa’ (Entah, saya kurang paham sepanjang masa itu konteksnya seperti apa). Dikutip dari akun Instagram milik Folkative pada 19 Mei 2022, film ini sukses menembus 7 juta penonton per hari itu. Kamu udah jadi bagian dari 7 juta itu, belum?
Walau demikian, dalam tulisan ini kamu enggak akan disuguhi sinopsis dari film KKN di Desa Penari karena sinopsisnya sudah banyak dimuat di berbagai tulisan lain. Saya agak malas jika mengulangnya lagi, jadi mending langsung baca ceritanya saja di akun twitter SimpleMan, ya, itu pun kalau mau sih… Peace!
Sebagai film dengan embel-embel ‘terlaris sepanjang masa’ apakah lantas menjadikan KKN di Desa Penari ini sebagai film terbaik? Ya belum tentu sih. Dipantau dari laman web IMDb, film ini mendapatkan rating 6,3/10 per tanggal 20 Mei 2022. Nilai yang bisa dibilang kecil bagi sebuah film yang digandrungi masyarakat, apalagi disebut-sebut sebagai yang terlaris―sepanjang masa pula! Namun siapa tahu, nilai 6.3 hanya akumulasi dari penilaian 757 pengguna IMDb, jelas tak sebanding dengan sisa 6,9 juta sekian penonton yang enggak ikut menilai, kan? Jadi, mungkin masih aman lah ya.
Terlepas dari bagaimana penilaian orang-orang yang sudah nonton, saya menilai film KKN di Desa Penari ini emang layak diacungi jempol. Mengapa? Sejak awal filmnya saya telak dibuat terkesima dengan sinematografinya yang keren banget! Saya dibuat kagum pada Mas-mas kameramen (ini mutlak ke-sok tahu-an saya, sih) yang begitu cekatan ngeshoot dengan begitu epik.
Kualitas dari filmnya jelas enggak abal-abal―bukan resolusi 144p yang biasa digunain kalo kuota udah mau abis. Mungkin penilaian saya ini didukung dengan kondisi ketika saya menonton film ini, layar yang saya lihat begitu jelas dan dekat―saking dekatnya, agak siwer mata saya nonton selama lebih dari dua jam. Tapi semua itu sepadan dengan kualitas visual yang saya dapat.
Film ini menurut saya memiliki kemiripan yang tinggi dengan isi utas sumbernya. Hal ini membuat orang-orang seperti saya merasa tenang ketika menonton―enggak misuh-misuh karena perbedaan dengan cerita asalnya. Tapi kok lama-lama saya makin merasa jenuh, ya? Sebagai film horor, saya malah enggak dapat sisi horornya. Film ini enggak bikin saya teriak karena hantu yang biasanya tiba-tiba muncul di depan muka. Enggak juga dengan penggambaran visual dari hantu yang nyeremin layaknya hantu-hantu pada umumnya. Selepas beres nonton, teman saya bahkan berkomentar, “Gak horor ah, gimana mau takut, hantunya aja cantik!” Hantu yang dimaksudnya mungkin Badarawuhi, hantu penari yang punya peran penting dalam cerita. Film KKN di Desa Penari ini beneran masuk genre horor, kan?
Tapi, meskipun minim dalam sisi kehororannya, penonton dapat mengambil pelajaran dari film ini untuk tidak serampangan dalam berbuat, apalagi sebagai tamu yang mengunjungi wilayah dan adat orang lain. Teringat satu pepatah yang berbunyi “Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung”, acap kali kita lupa dalam bertingkah laku sehingga menurut saya film ini megingatkan masyarakat agar lebih sadar untuk menjaga tingkah laku. “Ini mah film edukasi!” Celetuk teman saya lagi.
Film ini sebenarnya memang layak jika mendapat atensi dari masyarakat―terutama anak muda―karena kehebatan penulis aslinya, SimpleMan, yang berhasil meracik cerita tersebut dengan epik dan menarik. Hal ini bisa saja menjadi faktor dari banyaknya orang yang menonton film ini karena setelah rampung membaca utasnya mereka menjadi penasaran dengan versi filmnya. Ya seperti saya ini lah kira-kira.
Saya juga tertarik untuk melirik teknik marketing dari penayangan film ini di bioskop. Sebelumnya film ini telah beberapa kali diundur sejak rencana penayangan perdananya pada 19 Maret 2020 lalu akibat pandemi. Namun, penantian dua tahun inilah yang merupakan sebuah momentum tepat karena penayangan perdananya bertepatan pada dua hari menuju hari raya Idulfitri yang menjadi kesempatan besar karena cuti libur lebaran sudah mulai diterapkan. Apalagi, lebaran kali ini sudah tidak seketat tahun-tahun sebelumnya, sehingga masyarakat merasa sedikit lebih aman untuk menonton di bioskop. Karena tempat liburan penuh, enggak ada salahnya ‘kan pergi ke bioskop? Eh, tapi di bioskop juga penuh!
Banyak orang yang mengharapkan meledaknya jumlah penjualan tiket dan pamor dari film ini menjadi tonggak awal untuk mengembalikan eksistensi industri perfilman di Indonesia, mengingat sempat mengalami stagnan sejak awal pandemi. Apapun tanggapannya, film ini memang pantas untuk ditonton banyak orang. Jika belum nonton, jangan nonton bajakan ya! Yang legal-legal saja.
Comments