top of page

Hak Milik Sastra Profetik

Gambar penulis: Millati Rizqi RobbiMillati Rizqi Robbi

Dewasa ini, dunia sastra masih dijumpai bersinggungan dengan masalah sosial keagamaan, bahkan tidak jarang menimbulkan perdebatan yang sangat alot di kalangan masyarakat tertentu. Terlebih, ketika pembahasan mengarah pada sastra profetik.


Sebelum mendiskusikan hal ini lebih dalam, alangkah baiknya, kita mengetahui terlebih dahulu apa itu Sastra Profetik?


Sastra profetik dikenal juga dengan istilah sastra keagamaan karena isi yang tertera di dalam karya sastra tersebut seringkali menyiratkan suatu ajaran agama tertentu. Di Indonesia sendiri, ajaran agama Islam yang lebih luas membuat karya-karya sastra profetik yang bernuansa islami lebih marak. Tak jarang, beberapa orang mulai berspekulasi bahwa penyebutan sastra profetik memang ditujukan kepada para penganut agama Islam saja.


Apakah kenyataannya demikian?


Menurut Suraiya (2017), sastra profetik adalah pengembangan dari sastra yang bercorak religius dimana di dalamnya terdapat unsur yang harus terpenuhi bukan hanya hubungan manusia dengan tuhannya saja, namun juga hubungan manusia dengan lainnya. Selain itu, Ia menyebutkan bahwa sastra ini merupakan sastra yang berjiwa transendental dan sufistik (ketauhidan).


Untuk mengulik lebih dalam mengenai pengertian Sastra Profetik sendiri, perlu diketahui apa itu Sastra Transendental dan Sastra Sufistik


Nurkirana (2014) menyebut sastra sufistrik sebagai suatu bentuk karya yang muncul pada saat pada sufi berusaha menemukan cinta dari tuhannya, sehingga tidak mustahil untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaannya ke dalam sebuah karya. Sufi sendiri adalah sebutan bagi orang yang berusaha mendekatkan diri pada ajaran tauhid. Dalam hal ini, sebenarnya sudah dapat dikatakan bahwa ajaran ketauhidan tidak hanya diajarkan dalam agama Islam saja, tetapi juga diajarkan oleh semua agama. Nurkirana juga mengatakan bahwa penyebutan sastra sufi bergantung pada siapakah penulisnya atau apa yang ditulisnya. Jadi dari penjelasan diatas, suatu karya sastra dapat disebut sastra sufistik ini apabila memenuhi ciri-ciri diatas terlepas dari latar belakang agama penulisnya. Dalam perjalanan sastra Indonesia, sastrawan-sastrawan seperti Kuntowijoyo, M. H. Ainun Nadjib, Danarto, dan Joko Pinurbo adalah nama-nama yang beberapa karyanya bersifat sufistik.

Setelah mengenal sastra sufistik, mungkin beberapa dari kta juga pernah mendengar istilah sastra transendental. Sebetulnya istilah sastra transendental memiliki makna yang masih bersinggungan dengan sastra sufistik. Menurut Abdulhadi W. M (1999:23) Penyebutan sastra transendental sebenarnya adalah nama lain dari sastra sufistik. Sastra transendental ini akan menjabarkan kemudian akan bermuatan ekspresi, pengalaman, dan penghayatan estetik dalam usaha manusia mencapai intensitas religiusitas. Adapun pengalaman estetik bertalian dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang pada klimaksnya akan mampu menghubungkan makhluk dengan Sang Khalik. (Al-Ma’ruf, 1990: 72).


Perlu diketahui

Dalam perjalanan Sastra Transedental dan Sastra Sufistik sampai saat ini, tokoh-tokoh seperti Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, dan tokoh sastra yang berasal dari Indonesia yaitu Kuntowijoyo sangat berperan besar dalam penghidupan sastra profetik yang mencakup kedua ilmu sastra tersebut. Perlu diketahui pula, sastra profetik di Indonesia pertama kali digagas oleh Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Maklumat Sastra Profetik. Dengan melihat latar belakang pencetusnya dan isi karya sastra yang dihasilkan oleh mereka kemudian berkembang hingga sekarang ini yang sudah dikenal oleh masyarakat maka, tidak heran jika Sastra Profetik sering dikatakan sebagai Sastra Islami. Padahal, terlepas dari latar belakang pencetusnya, semua pengertian dari setiap bidang itu tidak memihak ke salah satu agama saja. Seperti kata “ketauhidan” sendiri yang mempunyai arti meng-Esa-kan Tuhan artinya suatu karya sastra dapat dikatakan sebagai sastra profetik apabila mempunyai ciri ke-tauhid-an seperti yang diterangkan diatas. Isi dari sebuah karya sastra yang mengandung sastra profetik tidak berada di luar lingkup ke-tauhid-an, bahkan cenderung memasukkan secara tersirat ajaran-ajaran atau nilai tertentu dari suatu agama.

Menurut saya tidak ada salahnya jika setiap individu mempunyai opini bahwa Sastra Profetik merupakan Sastra Islami jika dilihat dari latar belakang lahirnya suatu bidang ini. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa penamaan Sastra Profetik tidak hanya diperuntukkan bagi agama Islam, tetapi juga untuk agama lain yang isinya sama-sama menyiratkan untuk ajakan ataupun pesan dari suatu agama yang dituang dalam bentuk karya sastra dengan tujuan untuk siapa saja yang mempercayainya.


Sumber Referensi:

Al-Ma’ruf, A. (2013). URGENSI SASTRA TRANSENDENTAL DALAM PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA. -Literature And Nation Character Building., 67-69. https://www.academia.edu/download/52044073/b-Literature_and_Nation_Character_Building.pdf#page=65

Nurkirana, Resna J. (2014). Polemik Sastra Sufistik, Profetik, dan Religius. http://sastra-indonesia.com/2014/10/polemik-sastra-sufistik-profetik-dan-religius/

Suraiya, (2017). Sastra Profetik: Kajian Analisis Pemikiran Kuntowijoyo. Adabiya, 19(2), 141154.



32 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua

Comments


"Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet. Keduanya dapat tempat."— Chairil Anwar

Lebih dekat dengan Jalang:

  • email
  • Instagram

Copyright © 2022 Jalang. All rights reserved

bottom of page