
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”
Quran Surah An-Nisa ayat ke-78.
Kematian adalah sesuatu yang akan dialami oleh semua mahluk hidup, termasuk manusia. Kematian tidak memilih-milih dan tidak dapat ditawar, tetapi sayangnya hanya sedikit yang siap menghadapinya. Baik kematian dirinya sendiri maupun kematian orang yang dicintai. Perasaan takut itu kadang memunculkan kesombongan manusia untuk melawan takdir. Kisah-kisah pertarungan melawan takdir kematian sering kali tercermin dalam berbagai karya seni, contohnya dalam sastra.
Dalam khazanah sastra Indonesia, kisah seperti ini dapat dilihat dalam cerpen Dinding Anak karya Danarto. Cerpen ini mengungkap bagaimana manusia bertarung melawan takdir kematiannya dengan bantuan kekayaan. Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen berjudul Berhala karya Danarto. Antologi ini memuat 13 cerpen dan diterbitkan kembali pada Maret 2017.
Tema kematian yang menjadi nyawa dari cerpen Danarto ini menuntun tokoh Saya menyadari nilai-nilai ketuhanan atau yang dapat disebut sebagai nilai transendensi. Nilai religi semacam ini sudah dikenal dalam kesusastraan Indonesia sebagai bagian sastra profetik. Sastra profetik sebenarnya merupakan pembaruan dari konsep sastra transendental yang pernah dikemukakan oleh Kuntowijoyo pada Temu Sastra Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1982. Menurut Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra Profetik (2006:1), kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari kebenaran profetik. Melalui gagasan sastra profetik inilah, sastra transendental yang selama ini dianggap hanya berurusan dengan dimensi ketuhanan menghadirkan tambahan nilai humanisasi dan liberasi sebagai bentuk realitas duniawi yang juga harus diperhatikan agar seseorang tidak lupa pada tugas-tugas kemanusiannya sehingga menciptakan suatu harmoni dari tiga nilai itu. Artikel ini akan menggali tiga aspek sastra profetik dalam cerpen Dinding Anak karya Danarto.
Apa yang dilihat seseorang menjelang kematian? Ketika mengkhawatiri usia yang hampir usai, hal-hal indah bermunculan dalam pikiran termasuk orang-orang tercinta. Perasaan sebagai manusia pun hadir pada saat-saat seperti itu. Pada cerpen Dinding Anak, meski nyawanya tidak jadi dicabut, tokoh Saya merasakan kehadiran anak bungsunya telah menggugah semangatnya untuk terus hidup setelah terbujur kaku, begitu pula dengan berbagai kenangan bersama keluarganya.
Terasa Istri menyeka kening saya. Anak-anak berdiri di sisinya. Bibit, putri bungsu berumur 4, adakah yang lebih indah darinya, agaknya duduk di sisi saya. Bau khas tubuhnya meraub. Bibit menggoyang-goyang dada saya. Semuanya ini seperti tenaga yang mampu menggugah semangat saya untuk tetap hidup. Lalu Bibit membisiki, entah apa yang dikatakannya, membuat hati bertekad untuk tidak meninggalkan semuanya ini.
(halaman 102)
Mengutip Kuntowijoyo (1997:215), upaya humanisasi dapat berarti upaya untuk melawan segala bentuk dehumanisasi dan loneliness (privatisasi dan individualisasi). Setelah lolos dari malaikat Izra’il, tokoh Saya dapat merasakan kebahagiaan keluarga yang tidak sempat ia nikmati lantaran sibuk bekerja, dari sinilah nilai humanisasi dapat terlihat. Kesibukan tokoh Saya dalam menempuh karier menimbulkan efek buruk. Tak hanya kesehatan, sedikitnya waktu yang diluangkan untuk keluarga khusunya anak, mengakibatkan hilangnya peran ayah yang seharusnya ikut serta bertanggung jawab sebagai orang tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. Meskipun kesuksesan dalam karier dapat diraihnya, di sisi lain tokoh Saya gagal sebagai Ayah dalam membesarkan anak-anaknya ke jalan yang benar, membuatnya merasa bersalah, lalu menjadikan Bibit sebagai anak emas untuk mengusir perasaan sedih dan menebus kegagalannya.
Nilai transendensi pada cerpen sudah tercermin pada awal cerita yang dibuka oleh kedatangan Malaikat Izra’il yang dalam agama Islam merupakan malaikat pencabut nyawa. Kunjungan Izra’il mengejutkan tokoh Saya yang tidak menyangka akan menghadapi kematian lebih cepat dari yang dia rencanakan. Kunjungan dadakan ini sontak membuatnya mengingat Tuhan melalui bentangan Quran dan segala tanggung jawab atas perbuatannya selama hidup.
Kematian yang sempat menghampiri tokoh Saya, mengingatkannya bahwa Tuhan itu ada dan selalu memperhatikan serta meminta pertanggungjawaban kepada mahluk-Nya. Manusia terkadang mengingat tuhannya hanya ketika berada dalam masa-masa sulit saja, ketika diliputi kebahagian mereka lupa akan dosa-dosa mereka dan tak sedikitpun mengingat kematian.
Selain itu, setelah Izra’il tidak jadi mencabut nyawa tokoh Saya dan memilih untuk mencabut nyawa Bibit, tokoh Saya memohon pada tuhannya dengan salat Istiqarah, salat untuk meminta petunjuk. Di sinilah tokoh Saya kembali tersadar akan ketuhanan dan menangisi takdir yang akan terjadi pada Bibit. Ketakutan tokoh Saya, membuatnya berpikir bahwa keputusan Tuhan yang dia sembah terasa tidak adil untuknya. Lalu dari sini nilai-nilai liberasi ikut bermunculan.
Nilai liberasi dalam Dinding Anak lebih dominan dibandingkan dengan nilai humanisasi dan transendensi. Upaya pembebasan diri dari takdir kematian menjadi pertarungan pelik antara tokoh Saya dengan Izra’il. Tokoh Saya berusaha keras untuk melindungi Bibit dan mencoba berbagai cara, salah satunya dengan menyembunyikan Bibit di Wonogiri.
Setelah meraih kesuksesan, seseorang cenderung gelap mata dan beranggapan bahwa kekayaan yang dia miliki mampu melawan takdir tuhan yang tidak disukainya. Ketika Izra’il mengunjunginya lagi, kesombongan tokoh Saya muncul. Dengan berani dia mengklaim bahwa dia berhasil menghindarkan Bibit dari kematian. Meskipun begitu, kematian sekali lagi menunjukkan kekuatannya dan Izra’il tetap akan mencabut nyawa Bibit. Malahan Izra’il mengirim pesan kematian dengan cara merasuki dan berbicara melalui dokter pribadi yang dianggap mampu untuk menentukan hidup dan mati nyawa manusia dengan membayarnya. Dapat dilihat bahwa sekali lagi upaya tokoh Saya dalam pembebasan kematian Bibit dianggap sia-sia.
Saya hampiri Izra’il sambil berkata: “Anda sudah tidak mungkin lagi mengejar-ngejar Bibit. Dia sudah bukan anak saya lagi. Antara kami dan dia sudah tak ada pertalian apa-apa.”
Seperti biasanya Izra’il tidak menjawab. Kali ini ia setinggi manusia biasa dengan hiasan saya pada punggungnya yang nampak berpendar-pendar cahayanya. Suatu sinar yang menimbulkan kesejukan, yang membuat sejenisnya di bumi pudar.
“Biarlah Bibit saya ambil. Anda ‘kan tak bakal sedih karena dia sudah bukan anak Anda lagi,” ujar Dokter Zaid tiba-tiba, yang sejak tadi diam saja di samping saya.
“Masya Allah” teriak kekagetan saya, “Sadarkah Dokter bahwa mulut Anda sedang dipinjam oleh Izra’il!” Saya pun berlari menuju mobil dan tancap gas.
(halaman 107)
Tak menyerah sampai di situ, tokoh Saya memindahkan Bibit yang bersembunyi di Wonigiri ke Pacitan dengan melakukan usaha yang sama. Selain itu tokoh Saya juga mendapat ide untuk mengganti nama Bibit menjadi Sruni. Upaya yang dilakukan tokoh Saya, sekali lagi menunjukkan betapa bersikerasnya dia untuk mencoba menghancurkan belenggu takdir kematian Bibit. Sekali lagi tokoh Saya masih menggunakan kekayaannya untuk berusaha melawan Izra’il. Namun penggantian nama Bibit justru menjadi pintu pembuka bagi Izra’il untuk dapat mencabut nyawa Bibit. Pada akhirnya tokoh Saya gagal memerjuangkan keinginannya untuk lepas dari takdir tuhan.
“Dalam catatan nasib, Bibit memang harus mati pada hari ini di sebuah perkampungan di Pacitan, ketika namanya sudah diganti dengan Sruni…”
Seketika saya berteriak sekeras-kerasnya, membelah angkasa, mengadukan nasib saya kepada Tuhan, sambil berlari berlelehan air mata saya mencoba menjemput Bibit kembali.
(halaman 108)
Cerpen Dinding Anak karya Danarto ini berhasil menunjukkan tiga aspek dalam sastra profetik yaitu humanisasi, transendensi, dan liberasi. Dinding Anak menghadirkan nilai profetik melalui kematian yang membangkitkan nilai transendensi dari tokoh Saya. Kematian yang sempat menyapanya mengantarkan cerita pada nilai-nilai humanisasi dalam kehidupan tokoh Saya. Lalu pada nilai liberasi sayangnya tokoh Saya gagal untuk membebaskan Bibit dari kematian. Alur ini pulalah yang sekaligus memperkuat transendensi dalam Dinding Anak. Dengan gaya surealis yang mencolok, Danarto mampu menghadirkan sastra profetik tanpa meninggalkan ciri khas dari seorang penulis. Tak pula penokohan Bibit yang menegaskan judul yaitu Dinding Anak menyatukan keseluruhan cerita dalam tema yang padu. Tentunya dalam hakekat sastra profetik, amanat bagaimana menyikapi kematian dalam kehidupan menjadi pesan utama dalam karya Danarto ini. Daftar Pustaka:
Danarto. Berhala. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta.
Kuntowijoyo. 2006. Maklumat Sastra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media
Comments